5/13/2017

AKAL DAN WAHYU



AKAL DAN WAHYU
A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan.Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum.. Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan  dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui  akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1986: 1).
 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian akal dan wahyu?
2.      Apa landasan hukum akal dan wahyu?
3.      Bagaimana hubungan antara akal dan wahyu?
 
C.    Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu dalam kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu yang digunakan  maqasid as-syari’ah  atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan  hidup manusia, dua di antaranya adalah mewujudkan terjaganya  al-‘aql (intellect), dan keyakinan (ad-din). Dalam hal ini  wahyu  merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan kepada keimanan kepada Allah SWT.
D.    Manfaat Penulisan
  1. Agar kita dapat dapat mengetahui pengertian dari Akal dan wahyu.
  2. Agar dapat mengetaahui landasan hukum akal dan wahyu.
  3. Agar dapat mengetahui hubungan akal dengan wahyu.
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Akal Dan Wahyu
a. Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas. Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.
b. Fungsi Akal
1. Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
3. Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Kekuatan Akal
1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2. Mengetahui adanya kehidupan di akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban tersebut.

Akal berasal dari kata Arab (‘aqal).Dalam bahasa Indonesia orang biasa menyalinnya dengan pikir atau pikiran.Jadi kejadian berakal, disalin dengan berpikir.Menurut bahasa Arab, arti akal mula-mula “mengikat” (menahan) dan “membedakan”.Dalam rangka ini orang menghubungkan, bahwa akal merupakan tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari pada perbuatan buruk atau jahat, membedakannya dari makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal itu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Umumnya akal dimaknakan sebagai alat untuk berpikir, menimbang buruk-baik atau merasakan segala perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil manfaat daripadanya.
Perkataan akal dalam bahasa asalnya mengandung pengertian diantaranya mengikat dan menahan, ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Para ahli filsafat dan ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga).Untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan benda yang ditangkap oleh panca indera.

a.       Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.
b.      Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
c. Kekuatan wahyu
1. Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan.Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.[1]

B.     Landasan Hukum akal dan wahyu
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat sebagai berikut:
  1. Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad (38): 43).
  1. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosulullah bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
  1. Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)
6. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi akal.Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18)
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu langsunng (al-Qur’an) ataupun wahyu yang tidak langsung (al-Sunnah), kedua-duanya memiliki fungsi dan kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya berbeda karena disebabkan oleh proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau al-Qur’an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa awal islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat (masa Khalifah Abu Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abat kedua hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1. Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukan kepada al-Qur’an dan Sunnah.Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemahaman dan penngamalan ajaran Islam tanpa merujuk pada al-quran dan al-sunnah adalah omong kosong.
2. Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan biala akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidal boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan manusia.. Oleh karena itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat.Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi sebagai alat  untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis.




C.    Hubungan antara Akal dan Wahyu
Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendsh pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan Wahyu.Ia menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.

Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum turun.[2]
Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk  mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
            Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut  baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.[3]

D.    Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam
Kedudukan antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah. Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia.
Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain.
Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat. Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Maka para aliran islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antra lain:
1. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
2. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
3. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
4. Sementara itu aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu. Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat As - Sajdah, surat Al – Ghosiyah ayat 17 dan surat Al - A’rof ayat 185.
Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat Al – Isro , ayat 134 Surat Taha, ayat 164 Surat An – Nisa dan ayat 18 surat Al – Mulk.
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat islam karena kurang mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.


  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kelompok kami bahwa Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar.Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah.Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.

B.     Saran
Sebagai umat islam kita harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang berguna  bagi umat manusia. Dan agar kita dapat mengaplikasikan ilmu yang di peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia dan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup karena keduanya merupakan sumber ilmu yang paling utama.
Demikian makalah ini kami buat dan sampaikan kepada pembaca sekalian.Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia. 1998.
Ananda Arfa, Faisar. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis. 2007.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press. 1986.
Rozak, Abdul. Rosihon Anwar. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2001.



0 comments:

Posting Komentar