AKAL DAN WAHYU
A. Latar
Belakang
Allah
menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan.Dalam semua
sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang
dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai
standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum.. Islam bahkan
menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan
oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat
amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu:
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama
mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui
jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua
dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera
sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh
melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan
yang diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat
relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin
salah (Harun Nasution, 1986: 1).
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian akal dan wahyu?
2. Apa
landasan hukum akal dan wahyu?
3. Bagaimana
hubungan antara akal dan wahyu?
C.
Tujuan
Tujuan
disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu dalam kehidupan
islam sangat penting akal dan wahyu yang digunakan maqasid
as-syari’ah atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan
hidup manusia, dua di antaranya adalah mewujudkan terjaganya al-‘aql
(intellect), dan keyakinan (ad-din). Dalam hal ini wahyu merupakan
sumber pengetahuan yang didasarkan kepada keimanan kepada Allah SWT.
D.
Manfaat Penulisan
- Agar
kita dapat dapat mengetahui pengertian dari Akal dan wahyu.
- Agar
dapat mengetaahui landasan hukum akal dan wahyu.
- Agar
dapat mengetahui hubungan akal dengan wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal Dan Wahyu
a. Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari
kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk
kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki
fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu
yang kemampuanya sangat luas. Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman
jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang
dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah
(problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang
yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala
mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh
berpendapat bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh
karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.
b. Fungsi Akal
1. Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah
laku yang benar.
3. Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat
dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam
berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk
dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan Akal adalah jalan
untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan
akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang
menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Kekuatan Akal
1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2. Mengetahui adanya kehidupan di akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa
di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran
tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui kewajiban berbuat
baik dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di
akhirat.
6. Membuat hukum-hukum yang membantu dalam
melaksanakan kewajiban tersebut.
Akal berasal dari kata Arab (‘aqal).Dalam bahasa Indonesia
orang biasa menyalinnya dengan pikir atau pikiran.Jadi kejadian berakal,
disalin dengan berpikir.Menurut bahasa Arab, arti akal mula-mula “mengikat”
(menahan) dan “membedakan”.Dalam rangka ini orang menghubungkan, bahwa akal
merupakan tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari pada perbuatan
buruk atau jahat, membedakannya dari makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal
itu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Umumnya akal dimaknakan
sebagai alat untuk berpikir, menimbang buruk-baik atau merasakan segala
perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil manfaat daripadanya.
Perkataan akal dalam bahasa asalnya mengandung pengertian
diantaranya mengikat dan menahan, ia juga mengandung arti mengerti, memahami
dan berfikir. Para ahli filsafat dan ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya
(kekuatan, tenaga).Untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang
dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan
benda yang ditangkap oleh panca indera.
a. Pengertian Wahyu
Kata wahyu
berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari
bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika Al-Wahyu
berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu
wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada
seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika
berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah
yang diberikan kepada Nabi Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid
berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang
dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT,
baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang
masuk dalam telinga ataupun lainya.
b. Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi
memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi disini yaitu
wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan,
menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan
perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sebenarnya
wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya
untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak
menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta
yaitu Allah SWT.
c.
Kekuatan wahyu
1.
Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2.
Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3.
Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4.
Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5.
Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
Kata wahyu berasal dari kata
arab الوحي, dan al-wahy adalah
kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan.Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar
memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering
disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang
terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut
Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat
bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya
sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang
masuk dalam telinga ataupun lainya.[1]
B.
Landasan Hukum akal dan wahyu
Kedudukan Akal Dalam Syari'at
Islam.Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi
terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat sebagai berikut:
- Allah subhanahu wa'ta'ala hanya
menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal,
karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan
kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula
sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai
fikiran". (QS. Shaad (38): 43).
- Akal merupakan syarat yang
harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari
Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka
yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu
adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosulullah bersabda:
"رُفِعَ
القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan)
dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar
(berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
- Allah subhanahu wa'ta'ala
mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah
subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]:
10)
Dan Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak
mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4. Penyebutan begitu banyak proses
dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul
dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan
kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak
berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak
merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya
ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al
Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]:
82)
6. Islam mencela taqlid yang
membatasi dan melumpuhkan fungsi akal.Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam
memahami dan mengikuti kebenaran. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu)
tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira;
sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18)
Adapun wahyu
dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu langsunng (al-Qur’an) ataupun
wahyu yang tidak langsung (al-Sunnah), kedua-duanya memiliki fungsi dan
kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya berbeda karena disebabkan oleh
proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau
al-Qur’an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa
awal islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat (masa Khalifah Abu
Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abat kedua hijrah
(masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu fungsi dan kedudukan wahyu
dalam memahami Islam adalah:
1. Wahyu sebagai dasar dan sumber
pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus
dirujukan kepada al-Qur’an dan Sunnah.Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pemahaman dan penngamalan ajaran Islam tanpa merujuk pada al-quran dan
al-sunnah adalah omong kosong.
2. Wahyu sebagai landasan etik.
Karena wahyu itu akan difungsikan biala akal difungsikan untuk memahami, maka akal
sebagai alat untuk memahami islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu
sendiri agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal
tidal boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia
adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan manusia.. Oleh karena
itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak
tersesat.Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya,
ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan
tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara
fungsional akan lebih tepat dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga
akal memiliki fungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan
wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus
melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis.
C.
Hubungan antara Akal dan Wahyu
Akal adalah
potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah
tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi
penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil
Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia.
Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan
mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah
kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia,
bertambah rendsh pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain
tersebut.
Salah satu fokus pemikiran Harun
Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan Wahyu.Ia menjelaskan bahwa hubungan
antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam
pemikiran islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal
tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu.Akal dipakai untuk
memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah
pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Dengan adanya
akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan
kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala
pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat
diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu
atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui
baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan
akalnya walaupun wahyu belum turun.[2]
Menurut Mu’tazilah,
seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk mengetahui
adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa
meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan,
sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan
keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat
mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa
melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
Menurut Asy’ariyah, pertama
semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak
turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu
membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan
kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah
yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal
tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu
disebut baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam
oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu
dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.[3]
D.
Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam
Kedudukan antara wahyu dalam islam sama-sama
penting. Karena islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun
akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat
dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai
ketika hukum islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah
menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan
yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki
kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang
mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah
bagi setiap manusia yang diberikan Allah. Dalam Islam, akal memiliki posisi
yang sangat mulia.
Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan
tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan
syariat islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-qur’an dan
Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan
wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas
seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan waktu, baik perintah itu
disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada
yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun
larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara
berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal,
karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah
sebuah anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang
mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah
ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu. Seperti pendapat
Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan
baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik
lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan
buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain.
Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan
wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah
yang akan diperoleh manusia di akhirat. Karena Masalah akal dan wahyu dalam
pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua
akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan,
tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik
dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari
yang buruk.
Maka para aliran islam memiliki pendapat
sendiri-sendiri antra lain:
1. Aliran Mu’tazilah sebagai
penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan
mengetahui empat konsep tersebut.
2. Sementara itu aliran Maturidiyah
Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga
kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan
mengetahui ketiga hal tersebut.
3. Sebaliknya aliran Asy’ariyah,
sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya
mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima
kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan
menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
4. Sementara itu aliran Maturidiah
Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat
bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang
baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni
kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik
serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu. Adapun
ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah,
dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat As - Sajdah,
surat Al – Ghosiyah ayat 17 dan surat Al - A’rof ayat 185.
Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang
siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus,
menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia
sendiri. dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an
surat Hud ayat 24.Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat
Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa
ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat Al – Isro , ayat 134 Surat Taha, ayat
164 Surat An – Nisa dan ayat 18 surat Al – Mulk.
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh
dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal.
Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai
kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah
suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam yang dinilai dogmatis
tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat islam karena kurang mengoptimalkan
potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya
hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kelompok kami bahwa Akal adalah daya
pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa
pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar.Wahyu adalah firman
Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
disampaikan kepada umat.Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan
ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
bagi umat manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat
bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus
berpisah.Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya
budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan
dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan
wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi
sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya
saling menyempurnakan.
B. Saran
Sebagai umat islam kita harus selalu menggali ilmu
pengetahuan yang berguna bagi umat manusia. Dan agar kita dapat
mengaplikasikan ilmu yang di peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia dan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup karena
keduanya merupakan sumber ilmu yang paling utama.
Demikian makalah ini kami buat dan sampaikan kepada pembaca
sekalian.Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka memenuhi tugas
pada mata kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat
serta menambah wawasan bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Muhammad. Tauhid Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia. 1998.
Ananda
Arfa, Faisar. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Cipta Pustaka Media
Perintis. 2007.
Djamil,
Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Nasution,
Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press. 1986.
Rozak,
Abdul. Rosihon Anwar. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2001.

0 comments:
Posting Komentar