Bumi di dalam kegelapan, tidak ada cahaya pun yang menerangi. Manusia berjalan menurut prasangka dan perasaannya sedangkan akal sehat dikubur dalam-dalam. Manusia larut dengan apa yang dia ciptakan sendiri di dalam pikirannya dan menentukan sesembahan-sesembahan atas mereka. Mereka pun berkata bahwa ‘Yang ini Tuhan” dan “Yang itu bukan”. Padahal keduanya pun jenis benda yang sama.
Di lingkaran makro-kosmos yang maha luas ini, bumi adalah setitik benda kecil di antara seluruh benda langit. Di atas bumi itu berpijak sekelompok makhluk, diantaranya manusia. Manusia pun menyaksikan kemahaluasan alamini sehingga dia merasa setitik kecil goresan pena di selembar kertas yang tak terhingga. Dia merasa dirinya tidak berarti dan rasa takut mencekam di setiap siang berganti malam. Terkadang badai dan bencana menyapanya, bumi mengguncang sangat keras, manusia pun kembali dicekam ketakutan.
Ketakutan ini menginspirasikannya untuk mencari sebuah perlindungan kepada sesuatu yang disangka lebih kuat darinya. Manusia pun belum puas dengan segala prasangka yang ia milikinya. Pada lain waktu dia menatap bintang-bintang yang posisinya sangat jauh, paling jauh diantara matahari dan langit. Kini dia mulai berasumsi, apakah dewa pohon tadi sesungguhnya berada di salah satu bintang itu. Bahkan dia berasumsi, bintang itu penjelmaan sang dewa yang sesunggguhnya. Dia pun mulai menyampaikan ajarannya kepada manusia.
Kisah yang sangat menarik yang diceritakan Allah di dalam kitab suci kita, Al Qur’an, bagaimana proses Nabi Ibrahim mendapat hidayah dan tak sengaja bertafakur menatap fenomena alam yang sesungguhnya bagi orang lain adalah fenomena biasa saja. Seseorang yang sedang mendapatkan hidayah ditandai dengan munculnya gejala kejiwaan tertentu, kemudian disusul perubahan alam pikir, pikiran menjadi terbuka dan mulai memaknai sesuatu dengan akalnya. Inilah gunanya Allah menciptakan akal karena akal mampu memahami kebenaran.
Zaman nabi Ibrahim memberikan gambaran satu keadaan masyarakat yang masih memberhalakan sesuatu seperti menyembah benda-benda angkasa, benda-benda di bumi dan patung-patung. Praktik penyembahan bintang-bintang dan benda-benda di luar angkasa ini disebut di dalam al-Qur’an dengan sebutan kaum shabiin. Yang termasuk golongan shabiin kelak disebut agama majusi. Sedangkan penyembahan berhala atau benda-benda di bumi digolongkan dengan sebutan pagan. Ajarannya disebut paganisme atau dinamisme. Menyembah benda-benda di bumi bisa berupa pohon, patung yang sengaja dibuat, bebatuan, tempat, dan sebagainya. Dua keadaan tersebut menjadi praktik keseharian masyarakat pada masa Dinasti Namrudz.
Keduanya digolongkan paganisme, namun ada yang menganggap penyembahan terhadap benda luar angkasa, astromisme berbeda dengan paganisme. Sebab diantara penyembahan astromisme tersebut, ada yang mendekati konsep nilai-nilai Ilahiah yang sebenarnya, oleh karenanya mereka disebut kaum shabi’in.
Ada lagi corak paganisme yang lain seperti penyembahan atas roh. Bisa roh alam, bisa roh pohon, bahkan roh manusia. Ini disebut animisme. Kong Hu Chu termasuk salah satu kepercayaan jenis ini. Sigmeunt Freud menemukan satu corak penyembahan pagan yakni
Totemisme, yakni menyembah satu binatang tertentu. Kelompok ini dahulu dianut oleh kaum aborigin Australia.
Animisme, dinamisme, dan astronimisme adalah corak-corak penyembahan manusia terhadap sesuatu yang diyakini tuhan dan menguasai manusia yang berlangsung selama masa pra Ibrahim.

I was recommended this blog by way of my cousin. I am now not sure whether this publish is written via him as nobody else recognise such unique approximately my problem. You are incredible! Thanks! capitalone.com login
BalasHapus